PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Berbagi penelitian telah menemukan keterampilan sosial dan
emosional akan semakin penting peranannya dalam kehidupan dari pada kemampuan intelektual. Atau dengan kata lain
memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting pencapaian keberhasilan ketimbang IQ
tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal
dan non verbal.
Berbagi penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang
sama dapat membuat anak atau siswa bersemangat tinggi dalam belajar, dan anak
yang memiliki EQ yang tinggi disukai teman-temannya di arena bermain, juga akan
membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk kedunia kerja atau
ketika sudah berkeluarga.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu:
a. Bagaimana
konsep dasar emosional?
b. Apa
pengertian EQ dan IQ
c. Apa
yang dimaksud dengan anatomi saraf emosi?
d. Bagaimana
menjadi orang tua yang ber-EQ tinggi?
e. Apa
pengertian emosi dari segi moral?
f. Bagaimana
empati dan kepedulian kepada anak?
g. Bagaimana
cara mengembangkan empati dan kepedulian terhadap anak?
h. Apa
saja keterampilan EQ yang harus diingat?
i.
Seperti apakah emosi moral negative: Rasa malu
dan rasa bersalah?
j.
Seperti apa aplikasi pertimbangan faktor
emosional anak dalam perencanaan pembelajaran?
k. Seperti
apa aplikasi emosi dalam kehidupan sehari-hari?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Emosional
Kecerdasan emosional adalah suatu cara
baru untuk membesarkan anak. Menurut Lawrence
Shapiro (1997), kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada (a) keuletan, (b)
optimisme, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Kecerdasan emosional
pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, tetapi melalui
suatu yang disebut dengan karakteristik pribadi atau “karakter”.
2.2 EQ Versus IQ
IQ dapat diukur dengan menggunakan uji-uji
kecerdasan standar, misalnya Wechsler
intelligence scales, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal,
termasuk ingatan perbendaharaan kata, wawasan, pemecahan masalah, absatraksi
logika, persepsi, pengolahan informasi, dan kemampuan motorik visual. “Faktor
intelegensia umum” yang diturunkan dalam skala ini yang disebut IQ dianggap
sangat stabil sesudah anak berusia enam tahun dan biasanya berkolerasi dengan
uji-uji bakat seperti ujiuan masuk perguruan tinggi.
Makna EQ agak membingungkan. Salovey dan
Mayer mula-mula mendefenisikan kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan
memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain,
memilih-milih semuanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan
tindakan. Mereka keberatan istilah EQ dipakai sebagai sinonim kecerdasan
emosional, karena khawatir akan menyesatkan sehingga dapat memunculkan anggapan
bahwa ada pengujian yang akurat untuk mengukur EQ atau ini dapat diukur.
Keterampilan EQ bukanlah lawan
keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara
dinamis, baik pada tingkat konseptual maupun di dunia nyata. Idealnya kedua
keterampilan tersebut dapat dikuasai oleh seseorang.
2.3
Anatomi Saraf Emosi
Korteks, yaitu bagian otak yang digunakan
untuk berpikir.Kadang-kadang disebut neokorteks sebagai bagian yang berbeda
dari bagian otak yang mengurusi emosi yakni system limbic (hippocampus), tetapi
sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan
emosional seseorang. Korteks terdiri atas empat lobus (belahan otak), dan
kerusakan pada lobus tertentu akan menyebabkan masalah tertentu pula. Adapun
belahan otak tersebut adalah: Lobus Oksipitalis terletak dibagian belakang kepala
merupakan bagian otak yang mengendalikan penglihatan. Lobus Temporalis terletak
tepat dibelakang telinga dikedua sisi kepala, kerusakan bagian ini akan
menyebabkan masalah pada memeori jangka panjang. Korteks adalah bagian berfikir
otak, dan berfungsi mengendalikan emosi melalui pemecahan masalah, bahasa, daya
cipta, dan proses kognitif lainnya. Sistem limbic merupakan bagian emosional
otak.Sistem ini meliputi talamus, yang mengirimkan pesan-pesan ke korteks; hippocampus, yang berperan dalam ingatan
dan penafsiran persepsi; amingdala sebagai pusat pengendali emosi.
Menurut Lawrence otak manusia dapat
digolongkan dalam dua fungsi, yaitu (a) otak logika, dan (b) otak emosi.Kedua
otak tersebut menjalankan fungsi yang berbeda dalam menentukan prilaku kita,
namun keduanya saling bergantung.Bagian otak pengatur emosi bereaksi lebih kuat
dan lebih cepat, dibawah kontrol korteks khususnya lobus prontal memberi makna
terhadap situasi emosi yang dihadapi sebelum bertindak.
2.4
Menjadi Orang Tua Ber-EQ Tinggi
Para peneliti yang mempelajari reaksi
orang tua terhadap anak-anaknya menemukan bahwa ada tiga gaya yang umum bagaimana orang tua
menjalankan peranannya sebagai orang tua, yakni otoriter, permisif, dan
otoritatif.
Dari setiap penelitian, orang tua otoriatif
dianggap mempunyai gaya
yang lebih mungkin meghasilkan anak-anak pecaya diri, mandiri imajinatif, mudah
beradptasi, dan disukai banyak orang yakni anak-anak dengan kecerdasan
emosional berderajat tinggi. Penelitian juga mengungkapkan bahwa hubungan yang
terbuka dan saling menyayangi dengan anak akan memberikan efek jangka panjang
berupa meningkatnya citra diri, keterampilan menguasai situasi, dan mungkin
kesehatan anak.
Bagi anak – anak dibawah 9 tahun, Barkley
menganjurkan agar orang tua menetapkan wkatu khusus untuk berpartisipasi dengan
anak-anaknya dalam kegiatan bermain. Selama waktu itu orang tua harus
menciptakan suasana yang tidak menuntut penilaian tetapi menarik, menggairahkan, dan menunjukkan
penerimaan.
2.5
Emosi dari Segi Moral
Menurut Wiliam Damon, perkembangan moral
anak tidak dapat dipisahkan dengan emosi seseorang. Ada dua kelompok emosi,
yaitu: Emosi Negatif, sifatnya dapat memotivasi anak-anak untuk belajar dan
mempraktikan perilaku prososial, termasuk (a) takut dihukum, (b) kekhawatiran
tidak diterima oleh orang lain, (c) rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan
seseorang, (d) malu bila berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima orang lain.
Sementara emosi positif akan membentuk moral anak, adalah empati dan apa yang
disebut dengan naluri pengasuhan, yang meliputi kemampuan untuk menyayang.
2.6
Empati dan Kepedulian Terhadap Anak
Salah satu unsur dari emosional adalah
adanya empati. Empati merupakan suatu sikap kepribadian seseorang dimana
seseorang mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain. Sebagai contoh, kita
dapat melihat empati emosi pada kebanyakan anak yang belum berusia lima tahun, bayi akan
mencoba melihat bayi lain yang sedang menangis dan sering sampai ikutan
menangis.
Lawrence E, Shapiro menawarkan beberapa kegiatan
yang melibatkan anak-anak mengajarkan empati sebagai bagian dari mengajarkan
emosi kepada anak. Kegiatan yang melibatkan anak tersebut meliputi: (1) ikut
dalam kerja bakti di lingkungan sekitar rumah, (2) membantu mengajari anak-anak
lebih kecil, dan (3) membuat boneka bagi anak-anak yang sedang sakit.
2.7
Mengembangkan empati dan kepedulian
Keterampilan memahami sesuatu dengan
perspektif orang lain ini memungkinkan seorang anak mengetahui kapan bisa
mendekati teman yang sedih dan kapan membiarkannya sendiri. Empati kognitif
tidak memerlukan komunikasi emosi (misalnya menangis), karena dalam usia ini
seorang anak mengembangkan acuan atau model tentang bagaimana perasaan
seseorang yang sedang dalam situasi yang mengusahakan, entah diperlihatkan atau
tidak.
2.8
Keterampilan EQ Yang Harus Diingat
Hal yang perlu diingat dalam keterampilan
EQ ini adalah : Ajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak mereka masih muda dan
konsisten dengan pesan anda waktu usia mereka bertambah. Pemahaman anak
mengenai kejujuran bias berubah, tetapi pemahaman anda jangan berubah.Anda
dapat menjadikan kejujuran dan etika sebagai bahan perbincangan sejak anak
masih sangat muda dengan memilihkan buku-buku dan video untuk menikmati bersama
anak, memainkan permainan kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak
atas privasi.
2.9
Emosi Moral Negatif: Rasa Malu dan Rasa Bersalah
Malu didefenisikan sebagai salah satu
bentuk rasa rendah diri, ekstrem yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal
memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Berdasarkan teori anatomi saraf,
emosi-emosi ekstrem yang ditimbulkan oleh rasa malu cenderung menempuh jalan
pintas dan menghindari jalur normal ketika menuju tempat pencatatan informasi
dan penyimpanan ingatan dalam otak.
Membuat anak merasa malu atas perbuatan
anti sosialnya merupakan cara yang manjur untuk mengubah perilaku ini. Emosi
negatif rasa malu dan rasa bersalah dapat dimanfaatkan secara konstruktif untuk
membentuk perilaku moral anak:
a. Memanfaatkan
rasa malu
b.
Berpikir realistis
c. Keuntungan
optimis
d.
Mengubah kelakuan anak dengan mengubah pola pikir
mereka
e. Mendefinisikan
masalah sebagai “musuh”
f. Membuat
kerangka baru suatu masalah dan menuliskannya
2.10 Aplikasi Pertimbangan Faktor Emosional Anak
Dalam Perencanaan Pembelajaran
Masalah kepribadian sering dapat
menimbulkan kelakuan yang menyimpang, lebih-lebih jika seseorang dikategorikan
tertekan perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya akan cenderung untuk
melakukan penyimpangan, mungkin terhadap system sosial ataupun terhadap pola-pola
kebudayaan. Ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan, yaitu
sebagai berikut:
a. Sakit
Jiwa ( konflik mental yang berlebihan),
Orang yang terkena sakit jiwa
mempunyai kecenderung untuk bersikap antisocial.
b.
Perkembangan Emosional
Masalah emosional erat hubungannya
denagn masalah sosial yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat menyimpang.
Jika ego lemah, emosi akan mudah terpicu sehingga dapat melakukan hal-hal yang
melanggar batas.
c. Perkembangan
Mental
Mental ada kaitannya dengan daya
inteligensi. Jika seseorang mempunyai daya inteligensi yang tajam dan dapat
menilai realitas, ia semakin mudah untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat,
dan sebaliknya.
d.
Anomi
Masa anomi ditandai dengan
ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak dalam keadaan yang baru.
Sebagai ukuran orang akan menjadi anomi (kebingungan) adalah (a) di kala ia
berhadapan dengan suatu kejadian atau perubqahan yang belum pernah dialaminya,
dan (b) di kala ia berhadapan dengan situasi yang baru, ketika harus menyesuaikan
diri dengan cara-cara yang baru pula.
2.11 Aplikasi Emosi dalam Kehidupan Sehari-hari
Proses emosi dapat dijelaskan dari proses
fisiologik, yaitu terjadinya perubahan dalam diri (visceral change)akibat
dipengaruhi system saraf autonomic, kelenjar endokrin, dan system saraf pusat.
Hypothalamus bekerja mengontrol system saraf autonomic, selanjutnya mengawali
dan memulai terjadinya kondisi dasar dan emosi.Cerebral Cortex bertindak
sebagai penggerak perbuatan emosi yang keadaannya tidak teratur.
Perubahan dalam reflek kulit Galvanis –
GSR ( Galvanis Skin Reflex), sirkulasi ( tekanan darah, perubahan kimiawi dan
distibusinya), aktivitas “Gastrointensinal”(panas badan),
respirasi/berkeringat, berdirinya bulu kuduk, ukuran pupil mata dgainyan
sebaginya. Kondisi bangkitnya (Arousal
State) emosi dan motivasi sangat mirip satu sama lainnya.
Proses Cerebral mempersepsi situasi dan menafsirkan sensasi selalu berbasis
pada keadaan lingkungan.
Takut dan Marah, merupakan akibat dari proses
fisiologik berbeda. Saat takut, adrenalin berada pada aliran darah, respirasi
meningkat, reflex kulit galvanis menurun dan tekanan pada otot-otot terjadi
dalam waktu singkat. Saat marah, nonadrenalin dibawa kealiran darah,
meningkatnya reflex skin galvanis, berkurangnya respirasi, tekanan otot
menyeluruh dan terjadi tekanan darah yang meningkat.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kecerdasan emosional adalah suatu cara
baru untuk membesarkan anak. Menurut Lawrence
Shapiro (1997), kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada (a) keuletan, (b)
optimism, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Kecerdasan emosional
pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, tetapi melalui
suatu yang disebut dengan karakteristik pribadi atau “karakter”.Keterampilan EQ
bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya
berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkat konseptual maupun di dunia
nyata. Idealnya kedua keterampilan tersebut dapat dikuasai oleh seseorang.
3.2 Saran
1. Kepada peserta
didik diharapkan setelah membaca makalah ini, dapat menyeimbangkan kecerdasan
emosional atau EQ dengan keterampilan kognitif atau IQ agar pembelajaran dapat
berlangsung seimbang.
2. Kepada para
guru atau orang tua, setelah membaca makalah ini diharapkan dapat membimbing
peserta didik untuk melaksanakn keterampilan emosional dan keterampilan
kognitif secara seimbang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar