Minggu, 29 Juni 2014

Tugas Kuliah Perencanaan Pembelajaran Bahasa Indonesia



PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
      Berbagi penelitian telah menemukan keterampilan sosial dan emosional akan semakin penting peranannya dalam kehidupan dari pada  kemampuan intelektual. Atau dengan kata lain memiliki EQ tinggi mungkin lebih penting pencapaian keberhasilan ketimbang IQ tinggi yang diukur berdasarkan uji standar terhadap kecerdasan kognitif verbal dan non verbal.
      Berbagi penelitian telah menunjukkan bahwa keterampilan EQ yang sama dapat membuat anak atau siswa bersemangat tinggi dalam belajar, dan anak yang memiliki EQ yang tinggi disukai teman-temannya di arena bermain, juga akan membantunya dua puluh tahun kemudian ketika sudah masuk kedunia kerja atau ketika sudah berkeluarga.

1.2  Rumusan Masalah
      Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam makalah ini yaitu:
a.       Bagaimana konsep dasar emosional?
b.      Apa pengertian EQ dan IQ
c.       Apa yang dimaksud dengan anatomi saraf emosi?
d.      Bagaimana menjadi orang tua yang ber-EQ tinggi?
e.       Apa pengertian emosi dari segi moral?
f.       Bagaimana empati dan kepedulian kepada anak?
g.      Bagaimana cara mengembangkan empati dan kepedulian terhadap anak?
h.      Apa saja keterampilan EQ yang harus diingat?
i.        Seperti apakah emosi moral negative: Rasa malu dan rasa bersalah?
j.        Seperti apa aplikasi pertimbangan faktor emosional anak dalam perencanaan pembelajaran?
k.      Seperti apa aplikasi emosi dalam kehidupan sehari-hari?

  
BAB II
PEMBAHASAN
2.1   Konsep Dasar Emosional
      Kecerdasan emosional adalah suatu cara baru untuk membesarkan anak.  Menurut Lawrence Shapiro (1997), kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada (a) keuletan, (b) optimisme, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Kecerdasan emosional pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, tetapi melalui suatu yang disebut dengan karakteristik pribadi atau “karakter”.
2.2   EQ Versus IQ
      IQ dapat diukur dengan menggunakan uji-uji kecerdasan standar, misalnya Wechsler intelligence scales, yang mengukur baik kemampuan verbal maupun non verbal, termasuk ingatan perbendaharaan kata, wawasan, pemecahan masalah, absatraksi logika, persepsi, pengolahan informasi, dan kemampuan motorik visual. “Faktor intelegensia umum” yang diturunkan dalam skala ini yang disebut IQ dianggap sangat stabil sesudah anak berusia enam tahun dan biasanya berkolerasi dengan uji-uji bakat seperti ujiuan masuk perguruan tinggi.
      Makna EQ agak membingungkan. Salovey dan Mayer mula-mula mendefenisikan kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada orang lain, memilih-milih semuanya, dan menggunakan informasi untuk membimbing pikiran dan tindakan. Mereka keberatan istilah EQ dipakai sebagai sinonim kecerdasan emosional, karena khawatir akan menyesatkan sehingga dapat memunculkan anggapan bahwa ada pengujian yang akurat untuk mengukur EQ atau ini dapat diukur.
      Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkat konseptual maupun di dunia nyata. Idealnya kedua keterampilan tersebut dapat dikuasai oleh seseorang.

2.3    Anatomi Saraf  Emosi
      Korteks, yaitu bagian otak yang digunakan untuk berpikir.Kadang-kadang disebut neokorteks sebagai bagian yang berbeda dari bagian otak yang mengurusi emosi yakni system limbic (hippocampus), tetapi sesungguhnya hubungan antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosional seseorang. Korteks terdiri atas empat lobus (belahan otak), dan kerusakan pada lobus tertentu akan menyebabkan masalah tertentu pula. Adapun belahan otak tersebut adalah: Lobus Oksipitalis terletak dibagian belakang kepala merupakan bagian otak yang mengendalikan penglihatan. Lobus Temporalis terletak tepat dibelakang telinga dikedua sisi kepala, kerusakan bagian ini akan menyebabkan masalah pada memeori jangka panjang. Korteks adalah bagian berfikir otak, dan berfungsi mengendalikan emosi melalui pemecahan masalah, bahasa, daya cipta, dan proses kognitif lainnya. Sistem limbic merupakan bagian emosional otak.Sistem ini meliputi talamus, yang mengirimkan pesan-pesan ke korteks; hippocampus, yang berperan dalam ingatan dan penafsiran persepsi; amingdala sebagai pusat pengendali emosi.
      Menurut Lawrence otak manusia dapat digolongkan dalam dua fungsi, yaitu (a) otak logika, dan (b) otak emosi.Kedua otak tersebut menjalankan fungsi yang berbeda dalam menentukan prilaku kita, namun keduanya saling bergantung.Bagian otak pengatur emosi bereaksi lebih kuat dan lebih cepat, dibawah kontrol korteks khususnya lobus prontal memberi makna terhadap situasi emosi yang dihadapi sebelum bertindak.
2.4    Menjadi Orang Tua Ber-EQ Tinggi
      Para peneliti yang mempelajari reaksi orang tua terhadap anak-anaknya menemukan bahwa ada tiga gaya yang umum bagaimana orang tua menjalankan peranannya sebagai orang tua, yakni otoriter, permisif, dan otoritatif.
   Dari setiap penelitian, orang tua otoriatif dianggap mempunyai gaya yang lebih mungkin meghasilkan anak-anak pecaya diri, mandiri imajinatif, mudah beradptasi, dan disukai banyak orang yakni anak-anak dengan kecerdasan emosional berderajat tinggi. Penelitian juga mengungkapkan bahwa hubungan yang terbuka dan saling menyayangi dengan anak akan memberikan efek jangka panjang berupa meningkatnya citra diri, keterampilan menguasai situasi, dan mungkin kesehatan anak.
      Bagi anak – anak dibawah 9 tahun, Barkley menganjurkan agar orang tua menetapkan wkatu khusus untuk berpartisipasi dengan anak-anaknya dalam kegiatan bermain. Selama waktu itu orang tua harus menciptakan suasana yang tidak menuntut penilaian  tetapi menarik, menggairahkan, dan menunjukkan penerimaan.
2.5    Emosi dari Segi Moral
      Menurut Wiliam Damon, perkembangan moral anak tidak dapat dipisahkan dengan emosi seseorang. Ada dua kelompok emosi, yaitu: Emosi Negatif, sifatnya dapat memotivasi anak-anak untuk belajar dan mempraktikan perilaku prososial, termasuk (a) takut dihukum, (b) kekhawatiran tidak diterima oleh orang lain, (c) rasa bersalah bila gagal memenuhi harapan seseorang, (d) malu bila berbuat sesuatu yang tidak dapat diterima orang lain. Sementara emosi positif akan membentuk moral anak, adalah empati dan apa yang disebut dengan naluri pengasuhan, yang meliputi kemampuan untuk menyayang.
2.6    Empati dan Kepedulian Terhadap Anak
      Salah satu unsur dari emosional adalah adanya empati. Empati merupakan suatu sikap kepribadian seseorang dimana seseorang mampu menempatkan diri dalam posisi orang lain. Sebagai contoh, kita dapat melihat empati emosi pada kebanyakan anak yang belum berusia lima tahun, bayi akan mencoba melihat bayi lain yang sedang menangis dan sering sampai ikutan menangis.
   Lawrence E, Shapiro menawarkan beberapa kegiatan yang melibatkan anak-anak mengajarkan empati sebagai bagian dari mengajarkan emosi kepada anak. Kegiatan yang melibatkan anak tersebut meliputi: (1) ikut dalam kerja bakti di lingkungan sekitar rumah, (2) membantu mengajari anak-anak lebih kecil, dan (3) membuat boneka bagi anak-anak yang sedang sakit.
2.7    Mengembangkan empati dan kepedulian
      Keterampilan memahami sesuatu dengan perspektif orang lain ini memungkinkan seorang anak mengetahui kapan bisa mendekati teman yang sedih dan kapan membiarkannya sendiri. Empati kognitif tidak memerlukan komunikasi emosi (misalnya menangis), karena dalam usia ini seorang anak mengembangkan acuan atau model tentang bagaimana perasaan seseorang yang sedang dalam situasi yang mengusahakan, entah diperlihatkan atau tidak.
2.8    Keterampilan EQ Yang Harus Diingat
      Hal yang perlu diingat dalam keterampilan EQ ini adalah : Ajarkan nilai kejujuran kepada anak sejak mereka masih muda dan konsisten dengan pesan anda waktu usia mereka bertambah. Pemahaman anak mengenai kejujuran bias berubah, tetapi pemahaman anda jangan berubah.Anda dapat menjadikan kejujuran dan etika sebagai bahan perbincangan sejak anak masih sangat muda dengan memilihkan buku-buku dan video untuk menikmati bersama anak, memainkan permainan kepercayaan, dan memahami berubahnya kebutuhan anak atas privasi.
2.9    Emosi Moral Negatif: Rasa Malu dan Rasa Bersalah
      Malu didefenisikan sebagai salah satu bentuk rasa rendah diri, ekstrem yang terjadi ketika anak-anak merasa gagal memenuhi harapan orang lain dalam bertindak. Berdasarkan teori anatomi saraf, emosi-emosi ekstrem yang ditimbulkan oleh rasa malu cenderung menempuh jalan pintas dan menghindari jalur normal ketika menuju tempat pencatatan informasi dan penyimpanan ingatan dalam  otak.
      Membuat anak merasa malu atas perbuatan anti sosialnya merupakan cara yang manjur untuk mengubah perilaku ini. Emosi negatif rasa malu dan rasa bersalah dapat dimanfaatkan secara konstruktif untuk membentuk perilaku moral anak:
a. Memanfaatkan rasa malu
b.      Berpikir realistis
c. Keuntungan optimis
d.      Mengubah kelakuan anak dengan mengubah pola pikir mereka
e. Mendefinisikan masalah sebagai “musuh”
f. Membuat kerangka baru suatu masalah dan menuliskannya
2.10  Aplikasi Pertimbangan Faktor Emosional Anak Dalam Perencanaan Pembelajaran
      Masalah kepribadian sering dapat menimbulkan kelakuan yang menyimpang, lebih-lebih jika seseorang dikategorikan tertekan perasaannya. Orang yang tertekan perasaannya akan cenderung untuk melakukan penyimpangan, mungkin terhadap system sosial ataupun terhadap pola-pola kebudayaan. Ada beberapa sifat khusus yang dapat menimbulkan kejahatan, yaitu sebagai berikut:
a. Sakit Jiwa ( konflik mental yang berlebihan),
Orang yang terkena sakit jiwa mempunyai kecenderung untuk bersikap antisocial.
b.      Perkembangan Emosional
Masalah emosional erat hubungannya denagn masalah sosial yang dapat mendorong seseorang untuk berbuat menyimpang. Jika ego lemah, emosi akan mudah terpicu sehingga dapat melakukan hal-hal yang melanggar batas.
c. Perkembangan Mental
Mental ada kaitannya dengan daya inteligensi. Jika seseorang mempunyai daya inteligensi yang tajam dan dapat menilai realitas, ia semakin mudah untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, dan sebaliknya.
d.      Anomi
Masa anomi ditandai dengan ditinggalkannya keadaan yang lama dan mulai menginjak dalam keadaan yang baru. Sebagai ukuran orang akan menjadi anomi (kebingungan) adalah (a) di kala ia berhadapan dengan suatu kejadian atau perubqahan yang belum pernah dialaminya, dan (b) di kala ia berhadapan dengan situasi yang baru, ketika harus menyesuaikan diri dengan cara-cara yang baru pula.
2.11  Aplikasi Emosi dalam Kehidupan Sehari-hari
      Proses emosi dapat dijelaskan dari proses fisiologik, yaitu terjadinya perubahan dalam diri (visceral change)akibat dipengaruhi system saraf autonomic, kelenjar endokrin, dan system saraf pusat. Hypothalamus bekerja mengontrol system saraf autonomic, selanjutnya mengawali dan memulai terjadinya kondisi dasar dan emosi.Cerebral Cortex bertindak sebagai penggerak perbuatan emosi yang keadaannya tidak teratur.
      Perubahan dalam reflek kulit Galvanis – GSR ( Galvanis Skin Reflex), sirkulasi ( tekanan darah, perubahan kimiawi dan distibusinya), aktivitas “Gastrointensinal”(panas badan), respirasi/berkeringat, berdirinya bulu kuduk, ukuran pupil mata dgainyan sebaginya. Kondisi bangkitnya (Arousal State) emosi  dan motivasi sangat mirip satu sama lainnya. Proses Cerebral mempersepsi situasi dan menafsirkan sensasi selalu berbasis pada keadaan lingkungan.
       Takut dan Marah, merupakan akibat dari proses fisiologik berbeda. Saat takut, adrenalin berada pada aliran darah, respirasi meningkat, reflex kulit galvanis menurun dan tekanan pada otot-otot terjadi dalam waktu singkat. Saat marah, nonadrenalin dibawa kealiran darah, meningkatnya reflex skin galvanis, berkurangnya respirasi, tekanan otot menyeluruh dan terjadi tekanan darah yang meningkat.


BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
      Kecerdasan emosional adalah suatu cara baru untuk membesarkan anak.  Menurut Lawrence Shapiro (1997), kecerdasan emosional anak dapat dilihat pada (a) keuletan, (b) optimism, (c) motivasi diri, dan (d) antusiasme. Kecerdasan emosional pengukurannya bukan didasarkan pada kepintaran seorang anak, tetapi melalui suatu yang disebut dengan karakteristik pribadi atau “karakter”.Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkat konseptual maupun di dunia nyata. Idealnya kedua keterampilan tersebut dapat dikuasai oleh seseorang.
3.2 Saran
1. Kepada peserta didik diharapkan setelah membaca makalah ini, dapat menyeimbangkan kecerdasan emosional atau EQ dengan keterampilan kognitif atau IQ agar pembelajaran dapat berlangsung seimbang.
2. Kepada para guru atau orang tua, setelah membaca makalah ini diharapkan dapat membimbing peserta didik untuk melaksanakn keterampilan emosional dan keterampilan kognitif secara seimbang.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar